- Konsep keindahan
- Teknik yang dikembangkan dalam menciptakan keindahan
- Fungsi yang terkandung
Untuk mengamati suatu konsep keindahan kajian filsafat harus diperhatikan, karena konsep keindahan mengacu pada latar belakang kebudayaan yang mendasari terwujudnya unsur estetik pada seni terbebut.
Berbeda dengan teknik seni, pemahaman dapat dilakukan melalui ilmu multi disiplin tergantung pada teknik yang dibahas. Pengetahuan teknik seni dapat diperoleh dengan cara analogi etnografi, ekperimen, keterangan dari sumber tertulis.
Lain lagi dengan kajian fungsi yang memerlukan penafsiran dari ilmu arkeologi, antropologi, maupun sosiologi. Merekonstruksi fungsi suatu karya seni masa lalu tidaklah mudah, diperlukan analisis yang tajam mengingat fungsi seni tersebut sudah tidak dapat diamati secara langsung saat ini.
engekspresian seni yang dihasilkan suatu masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor:
· · Tradisi lama maupun anggapan lama yang telah mengakar menyangkut kemahiran teknik,
· · kebutuhan masyarakat itu sendiri,
· · keadaan lingkungan dan masyarakat,
· · intensitas komunikasi dengan lingkungan dan masyarakat lain.
Seni prasejarah pertama muncul pada masa Berburu dan Mengumpulkan Makan Tingkat Lanjut. Pada masa itu orang membuat lukisan atau goresan pada gua atau ceruk untuk mengekpresikan perasaanya.
Umumnya objek yang digambarkan adalah hewan yang berhubungan dengan aktivitas mereka sehari-hari yaitu berburu. Hal ini dapat memberi suatu penjelasan bahwa melalui seni dibarengi dengan keyakinan pada kekuatan gaib, si pelukis berharap untuk memperoleh hewan buruan. Terlihat pada lukisan babi yang tertusuk mata panah yang ditemukan di Maros, Sulawesi Selatan yang merupakan cerminan dari keyakinan pada kekuatan simpatik-magis. Berbeda dengan lukisan matahari maupun lukisan manusia berkepala hewan yang melambangkan mitos-magis.
Konsep ini muncul karena perasaan takut terkait dengan kekuatan alam disekitar manusia seperti hujan, angin, hewan buas, dan malam yang dianggap sebagai kekuatan jahat. Untuk menghindari kekuatan jahat ini maka mengagungkan hal yang baik seperti matahari yang memberi cahaya, perwujudan gaib yang digambarkan dengan manusia setengah hewan sebagai penguasa alam. Keyakinan inilah yang kemudian memunculkan konsep-konsep religi-magis dan religi-mitos.
Selain karya seni lukis atau gores, adapula seni arca yang tidak hanya berhubungan dengan unsur magis, tetapi lebih meningkat rasa kepercayaan pada nenek moyang. Aktivitas ini ditunjukkan melalui penyembahan patung-patung megalit.
Berdasar dari penampilan patung megalit ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni patung menhir dan arca megalitik.
· · Patung menhir merupakan bentuk menhir yang pada bagian atasnya terpahat bentuk muka, sedangkan bagian badan dan kaki masih bentuk batu asli.
· · Arca megalitik adalah bentuk menhir yang dipahat lebih nyata, tampak bentuk tubuh seperti muka, tangan, pinggang, dan bagian tubuh lainnya.
Patung-patung menhir antara lain ditemukan di Gunung kidul dan Bada, Sulawesi. Sedangkan arca megalitik ditemukan di Pakauman, Bondowoso, Pasemah, dan Gunung Kidul.
Pada perkembangannya seni masa prasejarah selain mengekspresikan keindahan, juga merupakan perwujudan dari pengalaman, perjuanagan hidup, harapan, serta terkandung nilai-nilai religius didalamnya. Disini karya seni juga memiliki kekuatan batin dan dasar kepercayaan, sehingga penampilan karya seni tidak hanya sebagai seni belaka tetapi melambangkan makna yang terkandung didalamnya. Sebab hampir seluruh seni prasejarah mengandung unsur magis yang melindungi, memberi kekuatan dan kesejahteraan bagi para pemujanya.
Menurut Soekmono, zaman prasejarah Indonesia dibagi dalam:
1. Zaman Batu
- Paleolithicum (zaman batu tua)
- Mesolithicum (zaman batu tengah)
- Neolithicum (zaman batu muda)
2. Zaman Logam
- Zaman Tembaga
- Zaman Perunggu
- Zaman Besi
berfungsi sebagai benda pusaka dan lambat laun kehilangan nilai praktisnya, hal ini lebih dikenal sebagai masa perundagian (Kusnadi dkk, 1971:8)
Manusia pendukung zaman ini adalah Pithecantropus, Homo Soloensis, Homo Wajakensis, Papua Melanesoide, Austronesia (indonesia).
Corak Peninggalan
Secara umum Soedarso Sp. Menyatakan ada tiga corak seni rupa prasejarah Indonesia:
a. Corak Monumental
Terutama pada corak neolithicum, karya seni rupanya bercirikan:
• Tokoh nenek moyang diujudkan dalam bentuk tiga dimensional secara frontal
• Motif simbolik; kedok, pohon hayat, tanduk kerbau
• Irama garis bersudut-sudut, sederhana, kaku sehingga menimbulka kesan monumental
b. Corak Dongson
• Pengaruh dari daerah Tonkin China
• Dekoratif
• Kurang Simbolik
• Motif Hias: tumpal, spiral terdapat pada moko dan nekara
c. Corak Chow Akhir
• Tidak Simetris
• Garis irama (melengkung-lengkung memenuhi semua permukaan)
• Hanya terdapat di Kalimantan
Jenis Peninggalan
a. Seni Lukis
Seni lukis adalah suatu pengucapan artistic yang ditumpahkan dalam bidang dua dimensional dengan menggunakan garis dan warna.
Nenek moyang melukis pada dinding goa dimana mereka tinggal. Contoh di gua leang-leang, lukisan cap-cap tangan diperkirakan berumur 4.000 tahun. ada tradisi purba masyarakat setempat yang menyebutkan, gambar tangan dengan jari lengkap bermakna sebagai penolak bala, sementara tangan dengan empat jari saja berarti ungkapan berdukacita. Gambar itu dibuat dengan cara menempelkan tangan ke dinding gua, lalu disemprotkan dengan cairan berwarna merah. Sat pewarna ini mungkin dari mineral merah (hematite) yang banyak terdapat di sekitar gua (di batu-batuan dan di dasar sungai di sekitar gua), ada pula yang mengatakan dengan batu-batuan dari getah pohon yang dikunyah seperti sirih.
Selain itu ada lukisan babi hutan yang sedang diujudkan dengan garis-garis merah, terdapat bekas tonjokan benda tajam di lehernya. Motif yang lain adalah gajah, ular dan kerbau(tetonisme). Hal ini dianggap oleh nenek moyang kita dapat menimbulkan kekuatan magis(dynamisme).
Note : Dikutip dari Berbagai Sumber