Lamongan, Jawa Timur (ANTARA News) - Pondok Pesantren Sunan Drajat di Desa Banjarwati, Lamongan, Jawa Timur, mengembangkan tanaman kemiri Sunan , yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar biodiesel, pengganti solar.
Kalau ini sukses besar dan diadopsi di mana-mana, tidak perlu lagi ada kekhawatiran atas kenaikan harga BBM.
"Kami sekarang ini, memiliki sekitar 70.000 tanaman kemiri sunan yang kami semai, di tanah lingkungan ponpes, sejak setahun lalu. Bahkan, sudah ada 12.000 pohon kemiri sunan yang dibagikan untuk ditanam di desa-desa di Lamongan," kata Ketua Pengembangan Agribisnis Ponpes Sunan Drajat, Hendra Natakarmana, Kamis.
Ia menjelaskan, pengembangan kemiri sunan (Reutalis trisperma) itu, berawal dari gagasan Pimpinan Ponpes Sunan Drajat, Kyai Abdul Ghofur, yang meminta dirinya, mencari bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fossil, pada 2004.
Pada awalnya, lanjutnya, tanaman jarak yang menjadi pilihan, hanya saja dalam perkembangannya, beralih ke kemiri sunan yang di Majalengka, Jabar, dikenal dengan nama kemiri china. Masalahnya, pengembangan bahan bakar biodiesel dengan tanaman jarak, dianggap tidak menguntungkan.
Menurut dia, kemiri Sunan ini, berbeda dengan kemiri yang biasa dimanfaatkan masyarakat untuk bumbu dalam memasak. Perbedaannya, kalau kemiri tersebut dimanfaatkan untuk memasak, bisa mengakibatkan yang memakan mengalami diare, karena mengandung racun.
"Kami menemukan tamanan kemiri tersebut, di Majalengka yang dikenal dengan nama kemiri China dan pemberian nama kemiri sunan, mendapatkan persetujuan Kyai Abdul Ghofur," katanya, mengungkapkan.
Ia menjelaskan, dalam uji coba yang sudah berjalan, sekitar 1 kilogram kemiri yang jumlahnya berkisar 100-150 buah, bisa menghasilkan 700 mililiter minyak. "Setelah itu, minyaknya masih harus diolah lagi, untuk memisahkan ampasnya, baru kemudian menjadi bahan bakar biodiesel, dengan hasil sekitar 0,52 liter," katanya, memaparkan.
Biodiesel itu, lanjutnya, sudah pernah dilakukan uji coba di mesin diesel yang ada di PT Rutan Agrindo, Gresik. Dari hasil uji coba itu, biodiesel dengan bahan kemiri itu, masih kalah irit sekitar lima persen, dibandingkan dengan solar.
Namun, lanjutnya, biodiesel kemiri Sunan memiliki keistimewaan, warna asapnya tidak hitam, begitu pula baunya tidak menyengat."Baunya mirip kacang," ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, ponpes setempat, masih belum bisa memproduksi kemiri Sunan menjadi bahan bakar biodiesel secara massal, karena masih menunggu hasil pengembangan tanaman kemiri yang ada di lingkungan ponpes dan masyarakat lainnya.
Ia menambahkan, dari literatur yang ada, kemiri Sunan masa waktu berbuahnya sekitar enam sampai tujuh tahun, tapi kemiri Sunan yang ditanam di lingkungan ponpes setempat, tiga tahun yang lalu, sudah mulai berbunga.
"Kami berniat mengembangkan kemiri Sunan menjadi biodiesel, sebagai pengganti solar, termasuk membuat mesin produksinya," katanya. (*)
"Kami sekarang ini, memiliki sekitar 70.000 tanaman kemiri sunan yang kami semai, di tanah lingkungan ponpes, sejak setahun lalu. Bahkan, sudah ada 12.000 pohon kemiri sunan yang dibagikan untuk ditanam di desa-desa di Lamongan," kata Ketua Pengembangan Agribisnis Ponpes Sunan Drajat, Hendra Natakarmana, Kamis.
Ia menjelaskan, pengembangan kemiri sunan (Reutalis trisperma) itu, berawal dari gagasan Pimpinan Ponpes Sunan Drajat, Kyai Abdul Ghofur, yang meminta dirinya, mencari bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fossil, pada 2004.
Pada awalnya, lanjutnya, tanaman jarak yang menjadi pilihan, hanya saja dalam perkembangannya, beralih ke kemiri sunan yang di Majalengka, Jabar, dikenal dengan nama kemiri china. Masalahnya, pengembangan bahan bakar biodiesel dengan tanaman jarak, dianggap tidak menguntungkan.
Menurut dia, kemiri Sunan ini, berbeda dengan kemiri yang biasa dimanfaatkan masyarakat untuk bumbu dalam memasak. Perbedaannya, kalau kemiri tersebut dimanfaatkan untuk memasak, bisa mengakibatkan yang memakan mengalami diare, karena mengandung racun.
"Kami menemukan tamanan kemiri tersebut, di Majalengka yang dikenal dengan nama kemiri China dan pemberian nama kemiri sunan, mendapatkan persetujuan Kyai Abdul Ghofur," katanya, mengungkapkan.
Ia menjelaskan, dalam uji coba yang sudah berjalan, sekitar 1 kilogram kemiri yang jumlahnya berkisar 100-150 buah, bisa menghasilkan 700 mililiter minyak. "Setelah itu, minyaknya masih harus diolah lagi, untuk memisahkan ampasnya, baru kemudian menjadi bahan bakar biodiesel, dengan hasil sekitar 0,52 liter," katanya, memaparkan.
Biodiesel itu, lanjutnya, sudah pernah dilakukan uji coba di mesin diesel yang ada di PT Rutan Agrindo, Gresik. Dari hasil uji coba itu, biodiesel dengan bahan kemiri itu, masih kalah irit sekitar lima persen, dibandingkan dengan solar.
Namun, lanjutnya, biodiesel kemiri Sunan memiliki keistimewaan, warna asapnya tidak hitam, begitu pula baunya tidak menyengat."Baunya mirip kacang," ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, ponpes setempat, masih belum bisa memproduksi kemiri Sunan menjadi bahan bakar biodiesel secara massal, karena masih menunggu hasil pengembangan tanaman kemiri yang ada di lingkungan ponpes dan masyarakat lainnya.
Ia menambahkan, dari literatur yang ada, kemiri Sunan masa waktu berbuahnya sekitar enam sampai tujuh tahun, tapi kemiri Sunan yang ditanam di lingkungan ponpes setempat, tiga tahun yang lalu, sudah mulai berbunga.
"Kami berniat mengembangkan kemiri Sunan menjadi biodiesel, sebagai pengganti solar, termasuk membuat mesin produksinya," katanya. (*)
Editor: Ade Marboen
Sumber : ANTARA News