-->

Type something and hit enter

ads here
On
advertise here
Romantisme masa - masa remaja atau sekolah selalu mengkisahkan tentang sebuah kisah tentang solideritas, setia kawan, dan lainnya. Dimana kita selalu rela menjadi lilin dengan membakar diri sendiri untuk menerangi orang lain. Kita selalu siap berkorban demi kawan kita yang sedang kesulitan demi meraih gelar solideritas.

Perjalanan usia semakin tua, menuju transisi waktu yang terus bergerak yang mengantarkan kita menuju evolusi diri. Dimana kita dari remaja menjadi dewasa dan akhirnya menikah lalu berkeluarga. Dan celakanya lagi saya dan semua angkatan kawan - kawan saya 60 persen memilih menjadi wirausaha.

Agak membingungkan memang, ketika saya melihat beberapa yang saya prediksikan untuk menjadi seorang yang pasti memiliki jabatan pada sebuah kantor itu dikarenakan pada saat masa sekolah dia sangat pintar, ternyata mereka memilih menjadi wirausaha.

Entah apa dasarannya mereka memilih jalan yang sama dengan yang sama tempuh, menjadi wirausaha. Ketika kita berjumpa dalam satu acara tender yang diadakan oleh salah satu institusi pemerintahan, maka saya tidak jarang juga lawan saya adalah kawan saya sendiri.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIjO2KxkxDO4g9jCn7Xw0paCtgcHSc2MOKnuvDHrkWJe91oqgTPes4YQkL5vdNf9OOg_p1QA4hK7SIXfgvYtR2XwRMcF2CYNNKJ9Z8kWAJYqhqgqPQ6dAWkcfPcqRlm924aYHP7dQF3uvp/s320/images.jpg
Sumber dari Google & Blog
Demi memainkan peran sebagai orang yang diutus oleh Perusahaan maka saya tidak boleh kalah, karena ini adalah taruhannya adalah reputasi saya sendiri. Setelah selesai acara tersebut, diluar kami berbincang panjang pada tentang nostalgia perkawanan pada saat SMU lalu. Terkesan itu semua dapat melumerkan suasana tegang yang telah terjadi didalam tadi.

Dan akhirnya kami pun bertukar nomer telp, dan kembali ketempat asal kami, kantor. Lalu setelah beberapa lama kemudian, tibalah waktunya dimana pemenang diumumkan. Pada saat itu Perusahaan yang saya bawalah yang menjadi pemenang atas pekerjaan tersebut. Lalu kawan saya pun meminta beberapa persen pekerjaan agar di sub kan kepada percetakan milik dia, dibilangan kalibaru.

Oke, akhirnya saya mencoba menyimpan masukan dari dia untuk memberitahukan ini kepada atasan saya langsung. Dan ternyata atasan saya menyerahkan pekerjaan ini full kepada saya. Akhirnya saya menghubungi kawan saya, dan memberi tahu bahwa saya dan kantor saya setuju untuk menyerahkan beberapa sup pekerjaan kepada percetakan miliknya. Ini semua masih berbau romantisme masa SMU jaman dahulu kala.

Akhirnya saya berikanlah beberapa file keperluan dia agar dapat mengerjakan apa yang seharusnya dia kerjakan. Dateline kami 30 hari untuk semua pekerjaan. Jadi saya berikan kepadanya mulai dari hari ke 3, dengan asumsi dia memiliki waktu 27 hari untuk mengerjakan pekerjaan yang memang dia sudah paham sebelumnya.

Saya mengerjakan pekerjaan dan saya sama sekali tidak mengontrol akan hasil yang dikerjakan oleh kawan saya tersebut. Karena secara tidak langsung dia sudah mengerti, itu disebabkan dia memegang acuan pekerjaan yang diberikan kepada perusahaannya pada saat mengajukan harga.

Tibalah hari ke 28 dimana saya ingin menyelesaikan semua pekerjaan. Semua pekerjaan saya sudah selesai, dan saya hanya tinggal mengambil pekerjaan yang dikerjakan oleh kawan saya. Karena saya ingin menyelesaikannya sebelum tanggal 30, itu sudah meruapakn bagian dari prinsip kerja saya.

Saya mendatangi kepercetakannya, dan alangkah terkejutnya saya ketika ada beberapa materi yang dia salah mencetaknya. Walaupun kesalahan itu kasat mata, namun buat saya tetap itu adalah sebuah kesalahan, dimana jika menurut saya itu harus dicetak ulang dan harusnya bisa selesai sebelum hari esok, dimana saya akan memberikan hasil pekerjaan tersebut.

Namun diluar dugaan saya, dia menolak mengerjakannya. Itu disebabkan karena tidak fatalnya kesalahan yang dia buat, menurut dia. Lalu saya pun berdebat keras tentang hal tersebut. Tapi akhirnya saya mengetahui etikat buruk dia dengan tidak akan mau menggantinya. Lalu saya melakukan second plan saya, yaitu nyetak pada bagian itu ditempat yang lain.

Maka akhirnya saya mengambil semua barang cetakan yang ada disana, plus saya mencari tempat cetak baru untuk mencetak kesalahan yang telah kawan saya lakukan. Untungnya selesai sebelum tanggal 30, dan semuanya sesuai rencana, saya menyerahkannya tanggal 29 pagi.

2 Bulan berlalu dan saya pun hampir sudah melupakan kejadian itu, tiba - tiba kawan saya menelpon saya untuk mengajak reunian SMU. Dan saya pun bersedia untuk datang. Acara tersebut diadakan hari minggu dan bertempat disalah satu Mall di bilangan Jakarta Pusat. Dan kami pun bertemu disana, cukup ramai yang datang. Sampai disana saya bertemu dengan kawan saya yang bermasalah tentang cetakan kemarin. Tapi hebatnya kami tetap berbincang seolah tidak ada masalah dan tetap hangat.

Sepulangnya dari Mall kami masih mampir dirumah salah satu kawan saya dan itupun masih bersama dengan kawan saya dipercetakan tadi. Hampir sempurna memang perkawanan ini. Dan inilah nilai dari sebuah perkawanan yang tidak luntur oleh apapun.

Dan dimana akhirnya tidak ada sebuah kawan abadi dan tidak ada lawan abadi. Untuk saya akhirnya menjalani dunia wirausaha itu memang harus bisa menempatkan diri dalam posisi apa kita berada. Mungkin suatu saat nanti kawan saya yang sudah berdebat dengan saya meminta pekerjaan kepada saya lagi maka saya tidak akan memberikannya, atau memang setidaknya saya tidak akan memberikan pekerjaan yang sama untuknya.

Tapi tidak demikian dengan perkawanan saya. Saya masih tetap berkawan dengan dia seolah - olah semua memang tidak pernah terjadi. Awalnya saya sebut itu adalah munafik, seiring dengan berjalannya waktu dan pendewasaan diri akhirnya saya berfikir itu wajar saja. Karena kita tidak bisa memaksakan untuk bisa cocok berbisnis dengan kawan kita sendiri. Lalu apakah ketika kita tidak bisa cocok dalam berbisnis harus menjadi tidak boleh berteman lagi ?, menurut saya itu jadi aneh.

Karena pada saat dahulu belum memiliki pekerjaan, kita berkawan baik - baik saja. Dan begitu kita terlibat dalam satu pekerjaan yang sama dan tidak cocok, apakah salah perkawanannya ?, menurur saya bahkan tidak sama sekali.

Itu dikarenakan jaman dahulu kita bebas, tidak memiliki tanggungan, dan memang masih bisa kesana  kemari dengan lepasnya. Akan tetapi sekarang kita bertemu 6 tahun kemudian dengan menggandeng istri disebelahnya, setidaknya. Maka makin banyak pemikiran yang harus kita timbang dibanding dengan nostalgia masa lalu. Tapi itu kan masalah pekerjaan saja, dan masalah pertemanannya lagi - lagi saya bilang itu tidak pernah salah dan takkan pernah salah. Karena kita memang cocok pada saat itu.

Banyak orang yang ketukar - tukar pada saat berada di Scene ini. Bahkan saya sangat merasa semakin tua akan semakin sulit kawan - kawan kita ditemui. Dan itu juga masih merupakan hal yang wajar. Karena masing - masing sibuk berjihad (mencari nafkah) untuk keluarganya masing - masing.

Dan kejadian ini terus berulang, kalau memang kawan saya ada 10 (seumpama) dan kita tidak bisa bekerja sama dengan sepuluh orang itu lalu kita memusuhi dan terbawa emosi untuk tidak mau mengenal mereka lagi, maka kawan kita akan habis bukan ?

Inilah proses pendewasaan diri, dimana kita bisa memafkan dan kita mau meminta maaf. Jauh dari itu semua kita bisa mengetahui situasi apa yang sedang terjadi saat ini, apakah masih relevan untuk esok hari atau tidak. Bahkan terkadang ketika kita under estimate dengan kawan kita yang kita anggap tidak mampu dalam bekerja, terkadang dia yang memberikan kita pekerjaan. Sudah tidak heran lagi, bahkan sering saya mengalami kejadian itu.

Rezeki itu datang dari silahturahmi dan saya baru mengerti kenapa diciptakannya kalimat ini. Dimana peran silahturahmi memang sangat penting, untuk mengembangkan sebuah usaha maupun menjalin persahabatan yang sudah lama putus.

Buat saya tidak akan ada manusia yang sengaja melakukan kesalahan, kebanyakan dia melakukan itu karena tidak tahu atau terpaksa. Maka jauh dari sikap menyalahkan, ada baiknya kita mengetahui dasarnya dia melakukan perbuatan itu terhadap kita. Jangan langsung mendefinisikan "ah dia mah tukang tipu", "ah dia mah ...." yang akhirnya menyeret kita kepada su'uzon kepada kawan kita sendiri.

Kalau bisa kita maafkan kenapa harus kita salahkan, toh memarahi, mencaci, dan memaki tidak menyelesaikan masalah bukan ?

Perang terbesar adalah perang melawan diri kita sendiri (hawa nafsu).